Mengenal Rasuna Said, Srikandi Tanah Minang Yang Abadi di Kuningan


MUGENJIN.COM - Sering kita mondar mandir di Jalan HR. Rasuna Said kadangkala di pikiran kita bertanya siapa Rasuna Said? Sekedar sembarang namakah?
Ternyata itu bukan sembarang nama. Jalan yang membentang dari Menteng hingga Mampang Prapatan, Jakarta Selatan itu ternyata mempunyai sejarah sendiri.
Kita mulai jalan ceritanya di Bandung pada 18 Maret 1958, saat Bung Karno datang ke kota tempa dia menimba ilmu semasa mudanya. 
Sang Proklamator datang untuk menyampaikan amanat kepada rakyat. Amanat itu masih seputar tentang Pancasila. Ada beberapa kota lain memang yang dikunjung Bung Karno untuk menyampaikan pidato dengant tema Pancasila.
Dalam pidato di Bandung, Bung Karno memberi judul amanatnya “Tidak Ada Kontra Revolusi Bisa Bertahan”.
Salah satu yang tokoh hadir dalam orasi itu adalah HR Rasuna Said. Kehadirannya tokoh pergerakan kelahiran Maninjau, Agam, Sumatera Barat itu memiliki peran penting baik secara historis dan politis. 
Ketika itu pemerintah sedang diguncang gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Puncak gerakan PRRI terjadi pada 15 Februari 1958 melalui ultimatum Dewan Perjuangan PRRI di Padang, Sumatera Barat.
Tokoh kelahiran  15 September 1910 ini telah dikenal luas sebagai pejuang kemerdekaan RI. Selan itu ia seperti Kartini juga merupakan tokoh emansipasi perempuan. Sejak muda, ia telah gigih berjuang.

Foto : Pustaka Della
 Diundangnya Rasuna Said ternyata siasat Bung Karno untuk ‘membujuk’ tokoh-tokoh lokal seperti Achmad Husein dan Sjafruddin Prawiranegara.
Dua pentolan itu disebut-sebut tengah berselisih dengan Bung Karno. Bung Karno meyakinkan kepada massa bahwa gerakan PRRI tidak akan berhasil, karena setiap gerakan kontra revolusi, pasti berujung pada kegagalan.
Bung Karno memuji HR Rasuna Said sebagai Srikandi Indonesia, atas kegigihannya berjuang menentang penjajahan. Bung Karno juga memuji ketangguhan mental Rasuna Said, meski sempat diringkus Belanda dan dijebloskan ke penjara.
 Lebih dari itu, Rasuna Said berasal dari Sumatera Barat, yang tetap loyal kepada Sukarno, tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Tokoh pahlawan sekaliber HR Rasuna Said saja tetap mendukung, dan membantu jalannya revolusi, serta tegaknya Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945,” puji Bung Karno untuk Rasuna Said.
 Pemberani
Rasuna said sewaktu muda adalah sosok yang pandai, cerdas dan pemberani. Wanita berkerudung ini lahir pada 15 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Ayahnya bernama Muhammad Said seorang aktivis pergerakan. Darah juang ayahnya mengalir deras kepada Rasuna Said.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar ia melanjutkan belajar di pesantren Ar-Rasyidiyah sebagai satu-satunya santri perempuan . Rasuna Said kemudian melanjutkan pendidikan di Diniyah School Putri di Padang Panjang dan bertemu dengan Rahmah El-Yunusiah. 
Rahmah El Yunusiah adalah tokoh gerakan Thawalib. Sebuah gerakan yang dibangun kaum reformis Islam di Sumatera Barat saat itu. 
Rasuna Said sejak umur 16 tahun sudah dikenal luas sebagai singa podium. Ia ahli dalam berpidato dan membakar semangat massa. Di kalangan pria ada putra Maninjau bernama Isa Ansari. Sayangnya, keduanya berbeda pemikiran dan pandangan politik. Bila Rasuna berada di barisan pembela Sukarno; Isa adalah Napolennya Masyumi dalam mengkritik sang proklamator itu.

Diniyah School Putri 

Kepedulian terhadap kemajuan dan pendidikan kaum perempuan membuat putri bangsawan ini mengajar di Diniyah School Putri sebagai guru. Pada tahun 1930 Rasuna Said berhenti mengajar karena memiliki pandangan bahwa kemajuan kaum wanita tidak hanya bisa didapat dengan mendirikan sekolah tapi harus disertai perjuangan politik.
Rasuna Said ingin memasukan pendidikan politik dalam kurikulum sekolah Diniyah School Putri tapi keinginannya ditolak.
Selain pandai di bidang politik ia juga mendalami ilmu agama pada  Haji Rasul atau Dr H Abdul Karim Amrullah. Dari keduanya, dia belajar tentang betapa pentingnya pembaharuan pemikiran Islam. Pemikiran-pemikiran ini kemudian mempengaruhi pandangan Rasuna Said.

Syekh Haji Muhammad Thaib Umar dari Sungayang (kiri), Syekh DR.Haji Abdullah Ahmad (tengah) dan Syekh H.Abdul Karim Amarullah (kanan) . foto : blogminangkabau

Pada 1930, Rasuna Said juga menentang poligami yang saat itu tengah menjadi polemik di tanah Minang, akibat meningkatnya angka kawin cerai. Dia menganggap, poligami merupakan pelecehan terhadap kaum wanita.
 Menentang Kolonial

Foto : arrahmah

Meski keinginannya memasukkan pendidikan politik ke kurikulum sekolah Diniyah School Putri ditolak, tidak membuat Rasuna Said patah arang. Dia tetap melanjutkan perjuangan politiknya dengan bergabung di Sarekat Rakyat (SR) sebagai sekretaris cabang.
Rasuna Said juga bergabung dengan Soematra Thawalib dan mendirikan Persatoean Moeslimin Indonesia (Permi) di Bukittinggi pada 1930. Tak hanya itu, dia juga ikut mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan Permi dan mendirikan Sekolah Thawalib di Padang, serta memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukittinggi.
Audrey R Kahin, dalam Dari Pemberontak ke Integrasi (2005), menyebut Rasuna sebagai “salah satu tokoh nasionalis paling keras di Sumatera Barat.” Rekam jejak membuktikannya. Umur 22 tahun ia sudah diawasi intel Belanda. Ucapannya di atas podium acap membakar dan menyakiti pejabat Belanda. Akhir tahun 1932 Rasuna dijatuhi hukuman 15 bulan penjara di Semarang. Dia menjadi perempuan pertama yang terkena hukuman tersebut pada masa itu.
Setelah bebas dari penjara, dia meneruskan pendidikannya di Islamic College pimpinan KH Mochtar Jahja dan Dr Kusuma Atmaja.
Menurut Rosihan Anwar, dalam Sejarah Kecil “Petite Historie” Indonesia Jilid 4 (2004: 149), seorang pejabat Belanda sekaligus pakar soal keislaman, Van der Meulen, telaten mendekati Rasuna. Misinya satu: membujuk Rasuna berhenti dari aktivitas politik. Rasuna juga dirayu untuk keluar dari Persatuan Muslim Indonesia (Permi)—organisasi Islam bercorak kebangsaan dan berhaluan non-kooperatif di Sumatera Barat. 
Rasuna Said yang ahli berorasi itu ternyata tulisannya juga tajam. Ia pernah menjadi pemimpin redaksi  Majalah  Raya pada tahun 1935. Majalah ini menjadi tonggak perlawanan di Sumatera Barat.
Namun polisi rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawan. Sedangkan tokoh-tokoh Permi yang diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial, justru tidak bisa berbuat apapun. Rasuna kecewa. Ia memilih pindah ke Medan, Sumatera Utara.
Pada 1937, di Medan, Rasuna mendirikan perguruan putri. Untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasannya, ia membuat majalah mingguan bernama Menara Poeteri. Slogan koran ini mirip dengan slogan Bung Karno, “Ini dadaku, mana dadamu”.
Koran ini banyak berbicara soal perempuan. Meski begitu, sasaran pokoknya adalah memasukkan kesadaran pergerakan, yaitu antikolonialisme, di tengah-tengah kaum perempuan.
Rasuna Said mengasuh rubrik “Pojok”. Ia sering menggunakan nama samaran: Seliguri, yang konon kabarnya merupakan nama sebuah bunga. Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran, dan selalu mengambil sikap lantang antikolonial.
Sebuah koran di Surabaya, Penyebar Semangat, pernah menulis perihal Menara Poetri ini, “Di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri; isinya dimaksudkan untuk jagad keputrian. Bahasanya bagus, dipimpin oleh Rangkayo Rasuna Said, seorang putri yang pernah masuk penjara karena berkorban untuk pergerakan nasional.”
Tetapi, koran Menara Poetri tidak berumur panjang. Persoalannya, sebagian besar pelanggannya tidak membayar tagihan korannya. Konon, hanya 10 persen pembaca Menara Poetri yang membayar tagihan.
Karena itu, Menara Poetri pun ditutup. Pada saat itu, memang banyak majalah atau koran yang tutup karena persoalan pendanaan. Rasuna memilih pulang ke kampung halamannya.
Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang.
Setelah Kemerdekaan
Rasuna Said diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), saat menjabat Rasuna mengusulkan hal kontradiktif. Ia ingin membubarkan Kementerian Agama dan Kementerian Penerangan. Sontak isu sensitif ini membangkitkan kecaman terlepas latar yang dikemukakan Rasuna.
Rasuna menganggap Kementerian Agama tidak berguna sama sekali. Politik dan agama itu tidak bisa disatukan menurut Rasuna. Rasuna memandang jika ada kementerian agama para ulama kan sibuk mengurusi gaji pemerintah ketimbang mengatasi persoalan agama.
Bukan hanya itu kekecawaanya. ia bingung kepada para ulama yang mengecam terhadap film-film China yang dianggapnya membuka wawasan, sementara film Amerika yang tampilkan kekerasan dan penistaan didiamkan ulama. Ia juga marah begitu mendengar kementerian agama menghabiskan uang untuk konferensi ulama penentuan hari pertama Ramadhan (Daniel S. Lev dalam Islamic Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institutions (1972: 45-46).
Penilaian Hamka di atas dalam karyanya, Ayahu (1982: 317), kiranya jadi penilaian relatif berimbang. Bahwa Rasuna Said yang sejak naik haji pada 1962 menambah kata sapaan di depan namanya, perlu dibaca utuh dan jeli. Ada kebaikan, ada pula kekurangan. Yang baik mari dipetik. Yang kurang, seperti banyak ditebar di tulisan ini, adalah untuk pelajaran. Agar kejiwaan seorang tokoh tertangkap utuh. Apalagi sosok yang sejak remaja gadis tidak risih bermajelis dengan kalangan pria kemudian bertukar pikiran soal perjuangan. 
H.R. Rasuna Said meninggalkan seorang putri, Auda Zaschkya Duski dan enam cucu yakni Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh Ibrahim, Moh Yusuf, Rommel Abdillah, dan Natasha Quratul’Ain.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar