Mengenal Rasuna Said, Srikandi Tanah Minang Yang Abadi di Kuningan


MUGENJIN.COM - Sering kita mondar mandir di Jalan HR. Rasuna Said kadangkala di pikiran kita bertanya siapa Rasuna Said? Sekedar sembarang namakah?
Ternyata itu bukan sembarang nama. Jalan yang membentang dari Menteng hingga Mampang Prapatan, Jakarta Selatan itu ternyata mempunyai sejarah sendiri.
Kita mulai jalan ceritanya di Bandung pada 18 Maret 1958, saat Bung Karno datang ke kota tempa dia menimba ilmu semasa mudanya. 
Sang Proklamator datang untuk menyampaikan amanat kepada rakyat. Amanat itu masih seputar tentang Pancasila. Ada beberapa kota lain memang yang dikunjung Bung Karno untuk menyampaikan pidato dengant tema Pancasila.
Dalam pidato di Bandung, Bung Karno memberi judul amanatnya “Tidak Ada Kontra Revolusi Bisa Bertahan”.
Salah satu yang tokoh hadir dalam orasi itu adalah HR Rasuna Said. Kehadirannya tokoh pergerakan kelahiran Maninjau, Agam, Sumatera Barat itu memiliki peran penting baik secara historis dan politis. 
Ketika itu pemerintah sedang diguncang gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Puncak gerakan PRRI terjadi pada 15 Februari 1958 melalui ultimatum Dewan Perjuangan PRRI di Padang, Sumatera Barat.
Tokoh kelahiran  15 September 1910 ini telah dikenal luas sebagai pejuang kemerdekaan RI. Selan itu ia seperti Kartini juga merupakan tokoh emansipasi perempuan. Sejak muda, ia telah gigih berjuang.

Foto : Pustaka Della
 Diundangnya Rasuna Said ternyata siasat Bung Karno untuk ‘membujuk’ tokoh-tokoh lokal seperti Achmad Husein dan Sjafruddin Prawiranegara.
Dua pentolan itu disebut-sebut tengah berselisih dengan Bung Karno. Bung Karno meyakinkan kepada massa bahwa gerakan PRRI tidak akan berhasil, karena setiap gerakan kontra revolusi, pasti berujung pada kegagalan.
Bung Karno memuji HR Rasuna Said sebagai Srikandi Indonesia, atas kegigihannya berjuang menentang penjajahan. Bung Karno juga memuji ketangguhan mental Rasuna Said, meski sempat diringkus Belanda dan dijebloskan ke penjara.
 Lebih dari itu, Rasuna Said berasal dari Sumatera Barat, yang tetap loyal kepada Sukarno, tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Tokoh pahlawan sekaliber HR Rasuna Said saja tetap mendukung, dan membantu jalannya revolusi, serta tegaknya Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945,” puji Bung Karno untuk Rasuna Said.
 Pemberani
Rasuna said sewaktu muda adalah sosok yang pandai, cerdas dan pemberani. Wanita berkerudung ini lahir pada 15 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Ayahnya bernama Muhammad Said seorang aktivis pergerakan. Darah juang ayahnya mengalir deras kepada Rasuna Said.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar ia melanjutkan belajar di pesantren Ar-Rasyidiyah sebagai satu-satunya santri perempuan . Rasuna Said kemudian melanjutkan pendidikan di Diniyah School Putri di Padang Panjang dan bertemu dengan Rahmah El-Yunusiah. 
Rahmah El Yunusiah adalah tokoh gerakan Thawalib. Sebuah gerakan yang dibangun kaum reformis Islam di Sumatera Barat saat itu. 
Rasuna Said sejak umur 16 tahun sudah dikenal luas sebagai singa podium. Ia ahli dalam berpidato dan membakar semangat massa. Di kalangan pria ada putra Maninjau bernama Isa Ansari. Sayangnya, keduanya berbeda pemikiran dan pandangan politik. Bila Rasuna berada di barisan pembela Sukarno; Isa adalah Napolennya Masyumi dalam mengkritik sang proklamator itu.

Diniyah School Putri 

Kepedulian terhadap kemajuan dan pendidikan kaum perempuan membuat putri bangsawan ini mengajar di Diniyah School Putri sebagai guru. Pada tahun 1930 Rasuna Said berhenti mengajar karena memiliki pandangan bahwa kemajuan kaum wanita tidak hanya bisa didapat dengan mendirikan sekolah tapi harus disertai perjuangan politik.
Rasuna Said ingin memasukan pendidikan politik dalam kurikulum sekolah Diniyah School Putri tapi keinginannya ditolak.
Selain pandai di bidang politik ia juga mendalami ilmu agama pada  Haji Rasul atau Dr H Abdul Karim Amrullah. Dari keduanya, dia belajar tentang betapa pentingnya pembaharuan pemikiran Islam. Pemikiran-pemikiran ini kemudian mempengaruhi pandangan Rasuna Said.

Syekh Haji Muhammad Thaib Umar dari Sungayang (kiri), Syekh DR.Haji Abdullah Ahmad (tengah) dan Syekh H.Abdul Karim Amarullah (kanan) . foto : blogminangkabau

Pada 1930, Rasuna Said juga menentang poligami yang saat itu tengah menjadi polemik di tanah Minang, akibat meningkatnya angka kawin cerai. Dia menganggap, poligami merupakan pelecehan terhadap kaum wanita.
 Menentang Kolonial

Foto : arrahmah

Meski keinginannya memasukkan pendidikan politik ke kurikulum sekolah Diniyah School Putri ditolak, tidak membuat Rasuna Said patah arang. Dia tetap melanjutkan perjuangan politiknya dengan bergabung di Sarekat Rakyat (SR) sebagai sekretaris cabang.
Rasuna Said juga bergabung dengan Soematra Thawalib dan mendirikan Persatoean Moeslimin Indonesia (Permi) di Bukittinggi pada 1930. Tak hanya itu, dia juga ikut mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan Permi dan mendirikan Sekolah Thawalib di Padang, serta memimpin Kursus Putri dan Normal Kursus di Bukittinggi.
Audrey R Kahin, dalam Dari Pemberontak ke Integrasi (2005), menyebut Rasuna sebagai “salah satu tokoh nasionalis paling keras di Sumatera Barat.” Rekam jejak membuktikannya. Umur 22 tahun ia sudah diawasi intel Belanda. Ucapannya di atas podium acap membakar dan menyakiti pejabat Belanda. Akhir tahun 1932 Rasuna dijatuhi hukuman 15 bulan penjara di Semarang. Dia menjadi perempuan pertama yang terkena hukuman tersebut pada masa itu.
Setelah bebas dari penjara, dia meneruskan pendidikannya di Islamic College pimpinan KH Mochtar Jahja dan Dr Kusuma Atmaja.
Menurut Rosihan Anwar, dalam Sejarah Kecil “Petite Historie” Indonesia Jilid 4 (2004: 149), seorang pejabat Belanda sekaligus pakar soal keislaman, Van der Meulen, telaten mendekati Rasuna. Misinya satu: membujuk Rasuna berhenti dari aktivitas politik. Rasuna juga dirayu untuk keluar dari Persatuan Muslim Indonesia (Permi)—organisasi Islam bercorak kebangsaan dan berhaluan non-kooperatif di Sumatera Barat. 
Rasuna Said yang ahli berorasi itu ternyata tulisannya juga tajam. Ia pernah menjadi pemimpin redaksi  Majalah  Raya pada tahun 1935. Majalah ini menjadi tonggak perlawanan di Sumatera Barat.
Namun polisi rahasia Belanda (PID) mempersempit ruang gerak Rasuna dan kawan-kawan. Sedangkan tokoh-tokoh Permi yang diharapkan berdiri melawan tindakan kolonial, justru tidak bisa berbuat apapun. Rasuna kecewa. Ia memilih pindah ke Medan, Sumatera Utara.
Pada 1937, di Medan, Rasuna mendirikan perguruan putri. Untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasannya, ia membuat majalah mingguan bernama Menara Poeteri. Slogan koran ini mirip dengan slogan Bung Karno, “Ini dadaku, mana dadamu”.
Koran ini banyak berbicara soal perempuan. Meski begitu, sasaran pokoknya adalah memasukkan kesadaran pergerakan, yaitu antikolonialisme, di tengah-tengah kaum perempuan.
Rasuna Said mengasuh rubrik “Pojok”. Ia sering menggunakan nama samaran: Seliguri, yang konon kabarnya merupakan nama sebuah bunga. Tulisan-tulisan Rasuna dikenal tajam, kupasannya mengena sasaran, dan selalu mengambil sikap lantang antikolonial.
Sebuah koran di Surabaya, Penyebar Semangat, pernah menulis perihal Menara Poetri ini, “Di Medan ada sebuah surat kabar bernama Menara Poetri; isinya dimaksudkan untuk jagad keputrian. Bahasanya bagus, dipimpin oleh Rangkayo Rasuna Said, seorang putri yang pernah masuk penjara karena berkorban untuk pergerakan nasional.”
Tetapi, koran Menara Poetri tidak berumur panjang. Persoalannya, sebagian besar pelanggannya tidak membayar tagihan korannya. Konon, hanya 10 persen pembaca Menara Poetri yang membayar tagihan.
Karena itu, Menara Poetri pun ditutup. Pada saat itu, memang banyak majalah atau koran yang tutup karena persoalan pendanaan. Rasuna memilih pulang ke kampung halamannya.
Pada masa pendudukan Jepang, Rasuna Said ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang.
Setelah Kemerdekaan
Rasuna Said diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), saat menjabat Rasuna mengusulkan hal kontradiktif. Ia ingin membubarkan Kementerian Agama dan Kementerian Penerangan. Sontak isu sensitif ini membangkitkan kecaman terlepas latar yang dikemukakan Rasuna.
Rasuna menganggap Kementerian Agama tidak berguna sama sekali. Politik dan agama itu tidak bisa disatukan menurut Rasuna. Rasuna memandang jika ada kementerian agama para ulama kan sibuk mengurusi gaji pemerintah ketimbang mengatasi persoalan agama.
Bukan hanya itu kekecawaanya. ia bingung kepada para ulama yang mengecam terhadap film-film China yang dianggapnya membuka wawasan, sementara film Amerika yang tampilkan kekerasan dan penistaan didiamkan ulama. Ia juga marah begitu mendengar kementerian agama menghabiskan uang untuk konferensi ulama penentuan hari pertama Ramadhan (Daniel S. Lev dalam Islamic Courts in Indonesia: A Study in the Political Bases of Legal Institutions (1972: 45-46).
Penilaian Hamka di atas dalam karyanya, Ayahu (1982: 317), kiranya jadi penilaian relatif berimbang. Bahwa Rasuna Said yang sejak naik haji pada 1962 menambah kata sapaan di depan namanya, perlu dibaca utuh dan jeli. Ada kebaikan, ada pula kekurangan. Yang baik mari dipetik. Yang kurang, seperti banyak ditebar di tulisan ini, adalah untuk pelajaran. Agar kejiwaan seorang tokoh tertangkap utuh. Apalagi sosok yang sejak remaja gadis tidak risih bermajelis dengan kalangan pria kemudian bertukar pikiran soal perjuangan. 
H.R. Rasuna Said meninggalkan seorang putri, Auda Zaschkya Duski dan enam cucu yakni Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh Ibrahim, Moh Yusuf, Rommel Abdillah, dan Natasha Quratul’Ain.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Ini Asal Usul Gelar Haji di Indonesia Yang Harus Kamu Ketahui




MUGENJIN.COM - Tahukah kamu bahwa gelar tambahan  ‘Haji’ hanya di Indonesia. Di Arab Saudi maupun negara lain ketika seseorang pulang menunaikan haji tidak ada yang menambahkan gelar tersebut di depan nama mereka. Lalu bagaimana seharahnya gelar ‘Haji’ itu bisa muncul di Indonesia?
Mengenai hal ini arkeolog Agus Sunyoto, menyatakan hal tersebut mulai muncul sejak tahun 1916.
Sebagaimana disebutkan, secara kebahasaan, haji berarti menziarahi, mengunjungi. Jadi tepatnya istilah ini digunakan untuk orang yang mau beribadah haji, bukan untuk mereka yang telah selesai melaksanakannya. Ketika seseorang pulang dari ibadah haji, sebenarnya sematan haji bagi dirinya sudah tuntas, karena dia tidak lagi berada dalam proses berziarah.
Sebaliknya di Indonesia, gelar tersebut masih tetap melekat. Orang-orang yang telah selesai melaksanakan ibadah haji mendapat gelar tambahan di depan namanya dengan sebutan haji (untuk laki-laki) dan hajjah (untuk perempuan). Banyak orang memandang hal itu tidak baik, karena bisa menimbulkan sikap riya, pamer sehingga berbahaya bagi nilai ibadahnya di hadapan Alloh.
Alasan lain pemakaian gelar haji karena susahnya menempuh perjalanan pulang pergi Indonesia – Mekah, sehingga agar kesan itu tidak hilang maka dipakailah gelar haji sebagai tanda perjuangan ibadah.
“Kenapa dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal mereka sudah haji? Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah kok. Sejarahnya (gelar “haji”, red) dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap kolonial. Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori guru thariqah, haji, ulama dari Pesantren, sudah, tiga itu yang jadi ‘biang kerok’ pemberontakan kompeni, sampai membuat kompeni kewalahan,” beber Agus Sunyoto di Pesantren Ats-tsaqafah, Ciganjur, Jakarta.
Seperti yang telah dikutip dari kemenag.go.id, pada zaman pendudukan Belanda, sudah banyak pahlawan Indonesia yang menunaikan ibadah haji seperti Pangeran Diponegoro, HOS Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantara dan masih banyak lagi. Namun tidak pernah kita mendengar mereka menggunakan gelar haji.
Kepulangan mereka dari haji banyak membawa perubahan untuk Indonesia, tentunya perubahan ke arah yang lebih baik. Contohnya HOS Cokroaminoto, pulang berhaji, mendirikan Sarekat Islam. Begitu juga Ki Hajar Dewantara yang berjuang dalam bidang pendidikan.
Hal-hal seperti ini merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya Belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke Tanah Air.
Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903. Pemerintahan kolonial pun mengkhususkan Pulau Onrust dan Pulau Khayangan di Kepulauan Seribu jadi gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia.
Dahulu di zaman penjajahan Belanda, Belanda sangat membatasi gerak-gerik umat muslim dalam berdakwah, segala sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama terlebih dahulu harus mendapat izin dari pihak pemerintah Belanda. Mereka sangat khawatir apabila nanti timbul rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi, yang akan menimbulkan pemberontakan, karena itulah segala jenis acara peribadatan sangat dibatasi. Pembatasan ini juga diberlakukan terhadap ibadah haji. Bahkan untuk yang satu ini Belanda sangat berhati-hati, karena pada saat itu mayoritas orang yang pergi haji, ketika ia pulang ke tanah air maka dia akan melakukan perubahan.
Contohnya adalah Pangeran Diponegoro yang pergi haji dan ketika pulang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Imam Bonjol yang pergi haji dan ketika pulang melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan pasukan Paderinya. Muhammad Darwis yang pergi haji dan ketika pulang mendirikan Muhammadiyah, Hasyim Asyari yang pergi haji dan kemudian mendirikan Nadhlatul Ulama, Samanhudi yang pergi haji dan kemudian mendirikan Sarekat Dagang Islam, Cokroaminoto yang juga berhaji dan mendirikan Sarekat Islam.
Hal-hal seperti inilah yang merisaukan pihak Belanda. Maka salah satu upaya belanda untuk mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama ini adalah dengan mengharuskan penambahan gelar haji di depan nama orang yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.
Di Kepulauan Seribu, di Pulau Onrust dan Pulau Khayangan (sekarang Pulau Cipir), orang-orang yang pulang haji, banyak yang di karantina di sana. Ada yang memang untuk dirawat dan diobati karena sakit akibat jauhnya perjalanan naik kapal, dan ada juga yang disuntik mati kalau dipandang mencurigakan. Karena itu gelar haji menjadi semacam cap yang memudahkan pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi mereka yang dipulangkan ke kampung halaman.
Seperti disinggung sebelumnya, banyak tokoh yang membawa perubahan sepulang berhaji, maka pemakaian gelar ‘H’ akan memudahkan pemerintah kolonial untuk mencari orang tersebut apabila terjadi pemberontakan.
 Kebiasaan tersebut pada akhirnya menjadi turun temurun hingga saat ini.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

Ketika Jurnalis Mencuit di Sosial Media




 "Ada pemuka agama rusuh ditolak di Hong Kong, alih-alih berkaca justru menyalahkan negara orang. Jika Anda bertamu dan pemilik rumah menolak, itu hak yang punya rumah. Tidak perlu teriak di mana-mana bahwa Anda ditolak. Sepanjang Anda diyakini mmg baik, penolakan itu takkan terjadi." @zoelfick

MUGENJIN.COM - Beberapa waktu lalu terjadi kasus seorang jurnalis meluapkan yang terganjal di hatinya lewat sosial media. Ia menulis bahwa ada pemuka agama rusuh ditolak di Hongkong. Akhirnya jurnalis dengan akun twitter @zoelfick langsung dipecat dari pekerjaannya lewat sosial media pula. Walaupun, pada akhirnya ia mendapat pekerjaan baru.

Sebenarnya sah-sah saja seorang jurnalis mengungkapkan uneg-unegnya di sosial media. Namun, apa yang disampaikan saudara Zoel justru membuat kisruh warga net khususnya muslim, apalagi penggemar berat pemuka agama yang ditulis olehnya di akun twitter.

Anehnya, AJI (Aliansi Jurnalis Independen Indonesia) lewat Ketuanya, Abdul Manan menilai pemecatan jurnalis Harian Topskor, Zulfikar Akbar karena mendapat tekanan dari warganet.

"Yang pasti itu seperti menjadi alat baru bagi orang-orang yang kami sebut kelompok intoleran, untuk memaksakan kepentingannya," kata Manan dilansir Tirto, usai memaparkan Catatan Akhir Tahun 2017 AJI Indonesia di kawasan Cikini, Jakarta, Rabu (27/12/2017).

Sepertinya penilaian Abdul Manan tidak netral, ia berpihak pada Zoelfikar. Jika mau ditelusur apa yang di tulis twitter oleh mantan jurnali Harian Topskor tersebut adalah kesalahannya sendiri. Sehingga membuat pimpinan Harian Topskor tersebut berang. 

 sudah umumkan sendiri vonis redaksi thdp dirinya di akun pribadinya. Sjk saat ini kami TopSkor tidak ada kaitan lagi dgn  zoelfick. Wassalam. 


Pertama, ia telah menilai bahwa pemuka agama yang ke Hongkong tersebut adalah pembuat kerusuhan.

"Ada pemuka agama rusuh ditolak di Hong Kong, alih-alih berkaca justru menyalahkan negara orang,..."

Jika Zulfikar bermaksud mengkritik seharusnya dengan santun. Apalagi seorang jurnalis harus bersikap netral dengan berita yang ada, tentunya melakukan cek dan ricek mengapa pemuka agama tersebut atau Ustad Abdul Somad dideportasi.

Kedua, Zoel adalah seorang jurnalis olahraga, tidak seharusnya ia mengkritik bukan ranah yang dikuasainya. 

Ketiga, Zoel sudah melakukan kesalahan dengan menulis bahwa, "Jika Anda bertamu dan pemilik rumah menolak, itu hak yang punya rumah. Tidak perlu teriak di mana-mana bahwa Anda ditolak. Sepanjang Anda diyakini memang baik, penolakan itu takkan terjadi."

 Sebagai warga negara Indonesia dan diatur dalam Undang-Undang sudah selayaknya meminta perlindungan dan melaporkan kepada pemerintah jika terjadi penolakan.

Dalam pasal 19 huruf b UU 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri, secara tegas menyatakan bahwa Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban "inter alia". Antara lain memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri.

Sebelum Ustad Abdul Somad kasus penolakan juga menimpa (mantan) Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang ditolak masuk ke negara Amerika Serikat.

Apakah Panglima Gatot tidak juga tidak perlu teriak seperti yang disarankan oleh Zoel? Tentu tidak. Nyatanya, setelah (mantan) Panglima TNI teriak, Amerika Serikat telah menyatakan bahwa mereka menerima kesalahan informasi dari intelijen.

Di tweet yang kedua, Zoel beranggapan bahwa Ustad Abdul Somad melahirkan umat beringas

“Jadi @ustadabdulsomad, jika ditanya knp negara Hong Kong menolak Anda krn memang terbukti hasil dakwah Anda selama ini telah melahirkan umat yang beringas.”

Seharusnya ia tidak bisa mengambil kesimpulan seperti ini yang melahirkan gejolak emosi netizen. Zoel sebagai seorang jurnalis pasti bisa menulis yang lebih santun bukan dengan kasar.

Saya setuju dengan pernyataan Ketua Divisi Data dan Informasi Forjim, Dudy Sya'bani Takdir mengungkapkan apa yang disampaikan Zulfikar berpotensi memecah-belah bangsa.

 "Bagaimana pun juga Ustaz Somad adalah ulama kebanggaan masyarakat Riau. Pernyataan saudara Zulfikar telah menyakiti hati umat Islam Indonesia, terlebih masyarakat Riau karena dikatakan hasil dakwah Ustaz Somad adalah umat beringas," ujar Dudy saat melakukan jumpa pers di Depok, Rabu (27/12/2017).

Di tweet yang ketiga apalagi menurutnya Ustad Abdul Somad lebih dekat dengan setan karena melahirkan umat seperti itu ditweet sebelumnya.


@ustadabdulsomad  ini salah satu hasil dari dakwah Anda, melahirkan umat seperti ini. Sila muhasabah, Anda mungkin lbh dekatkan mereka ke setan alih-alih kepada Allah. 


Justru apa yang disampaikan oleh Zoel bukanlah kritikan tetapi hujatan karena ketidaksukaanya terhadap personal Ustad Abdul Somad. Walaupun, akhirnya Zoel meminta maaf karena cuitannya terlalu pedas dan mengakhiri karirnya sebagai seorang jurnalis. 

Mengutip pendapat Bill Kovach,  "tugas utama praktisi jurnalisme adalah memberitakan kebenaran. Kebenaran yang dimaksud bukan perdebatan filsafat atau agama, tapi kebenaran fungsional yang sehari-hari diperlukan masyarakat."

Oleh karena itu sebagai seorang jurnalis kita harus taat pada kode etik jurnalis. Apa yang disampaikan oleh kita akan menjadi rujukan bagi masyarakat.

Selain itu, loyalitas sebagai jurnalis adalah pada masyarakat, bukan pada perusahaan tempatnya bekerja, pembaca, atau pengiklan. Wartawan harus berpihak pada kepentingan umum sehingga tidak adanya bias dalam melakukan kerja jurnalis, apalagi mengkritik personal tokoh masyarakat.

Yang terakhir,  esensi jurnalisme adalah verifikasi, memastikan bahwa data dan fakta yang digunakan sebagai dasar penulisan bukan fiksi, bukan khayalan, tetapi berdasarkan fakta dan pernyataan narasumber di lapangan. Sehingga, apa yang kita tulis di media sosial juga bukan khayalan atau anggapan yang dibuat-buat untuk mengkritik atau menghujat.

Semoga apa yang terjadi menjadi pembelajaran bagi kita semua, salam!





Tidak ada komentar :

Posting Komentar